BUKU SANG ALKEMIS PAULO COELHO
dapatkan buku ini dalam file pdf silahkan klik di sini
SONOPSIS : Beberapa orang mengatakan kepada saya, bahwa buku Sang Alkemis ini bagus. Pada akhirnya, saya pun tertarik untuk membacanya. Saya meminjam novel ini di perpustakaan kampus, yang kebetulan mengoleksi beberapa novel karya Paulo Coelho.
Setahun kemudian, setelah membaca Sang Alkemis edisi 2008, saya mempunyai keinginan untuk membacanya lagi. Kebetulan teman saya mempunyai Sang Alkemis edisi 2013, saya pun meminjamnya. Bagi saya, baik pada edisi 2008 dan 2013 cover yang ditampilkan terkesan agak boring. Tapi, cover tersebut cukup merepresentasikan isi dari buku ini.
Namun, jumlah halaman yang tidak tebal (216 halaman) membuat saya cukup tertarik untuk membacanya lagi. Toh, isi cerita dalam novel ini, cukup mudah untuk dipahami. Singkatnya, novel ini berkisah tentang perjalanan seorang gembala bernama Santiago menuju Mesir.
Sebenarnya, kisah semacam ini sudah cukup banyak. Semisal, Laskar Pelangi atau Pursuit of Happiness. Namun sayangnya dalam kedua master piecetersebut, penggapaian tokoh utamanya dalam mencapai impiannya, terlihat sekali dipengaruhi dari lingkungannya. Namun dalam Sang Alkemis, Coelho menawar cara yang berbeda, yakni lewat dari dalam diri tokoh utamanya.
Sebelum saya berbicara lebih jauh, kisah dalam novel ini mengingatkan saya pada Rollo May, seorang tokoh eksistensialis dalam dunia Psikologi. Rollo menyatakan bahwa takdir merupakan hal-hal yang tidak diketahui manusia, namun itu terdapat di dalam masa depannya. Jadi ketika manusia mengetahui apa yang diinginkannya, dia mesti juga menjalani dan menerima konsekuensi di balik keputusannya.
Pembahasan soal takdir ini seringkali diremehkan saat diangkat menjadi suatu topik pembicaraan. Sebab takdir, terkesan menjadi “akhir dari semua yang akan terjadi” atau “sesuatu tidak dapat diubah oleh siapapun”. Ketika orang membahas hal ini, orang lain yang mendengar seringnya menjadi ragu dan cemas akan masa depannya sendiri. Hal ini membuat pembicaraan jadi tidak menarik, dan memilih topik pembicaraan lainnya.
Tidak hanya itu, takdir juga memberikan kesan buram. Jarang ada orang yang tahu benar apa takdir mereka. Yang diketahui dengan pasti, bahwa pada akhirnya semua makhluk hidup mengalami kematian.
Namun dalam novel ini, Coelho memberikan cara pandang lain mengenai takdir. Ia membuat rumusan yang simpel, mengenai si tokoh utama yang memiliki kebebasan untuk memilih impian. Namun ketika ia sudah memilih impiannya, ia mesti menjalani segala konsekuensi yang ada di baliknya.
Ada satu lagi konsep menarik yang ditawarkan Coelho dalam cerita ini: konsep mengenai alam semesta. Konsep ini menambah makna mendalam dari pencapaian impian. Alam semesta, dalam konsep Coelho, ikut berkontribusi dalam membantu Santiagomeraih mimpinya.
Pertanyaannya, apa kontribusinya?
Di sini, alam semesta memberikan pertanda kepada Santiago agar ia benar-benar “layak” memperoleh impiannya. Namun jangan dipikir, pertanda di sini adalah sebuah arah dari rasi bintang atau semacam sihir. Tetapi alam semesta memberikan pertanda lewat ujian yang mesti Santiago lalui. Mulai dari dirinya ditipu oleh orang asing di dermaga – hingga hartanya ludes, sampai perjalanan melewati padang pasir yang kejam.
Pertanda itu tak hanya berguna memberikan warna bagi Santiago dalam perjalanannya meraih mimpi. Dengan pelbagai pengalaman baru tersebut, harta yang dikejarnya itu menjadi lebih berharga.
Tak hanya itu, Santiago juga dihadapkan dengan banyak orang yang ternyata memberi andil dalam perjalanannya. Ia bertemu dengan seorang wanita gipsi, seorang pria yang mengaku dirinya raja, seorang penjual kristal, ilmuwan Inggris, Fatimah dan Sang Alkemis yang bijaksana. Semuanya ikut mendukungnya untuk meraih harta yang diimpikannya.
Dari sekian banyak orang itu, Sang Alkemis adalah tokoh yang paling penting dalam mengajari Santiago untuk mendengarkan suara hatinya. Sebab, suara hati menjadi pembimbing yang berperan dalam mengambil keputusan dan sebagai kompas penunjuk dimana harta karun itu berada.
Awalnya, konsep-konsep tersebut terasa agak tidak masuk akal. Tapi kalau kita terus mengikuti perjalanan Santiago dalam kisah ini, akhirnya, kita akan memahami bahwa apa yang dipelajari oleh Santiago tidak hanya untuk mendapatkan harta karun. Lebih penting daripada itu, sebuah karakter yang tangguh dan percaya diri.
Hal ini jadi sedikit bertentangan dengan Freud, seorang Psikoanalis asal Jerman, yang menyatakan bahwa suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari mengenai hal apa yang seharusnya dilakukan.
Nah, benarkah suara hati itu benar ada?
Untuk saya pribadi, saya percaya bahwa suara hati itu ada. Sebab, menurut saya, suara hati itu sebenarnya suara kejujuran diri sendiri. Terus terang, ini sangatlah sulit. Sebab kadang realitas yang terjadi terlalu memegang kendali, sehingga sangat sulit untuk mendengarkan suara kita sendiri. Dan yang ada kita malah terpengaruh oleh suara dari lingkungan, ketimbang suara hati kita sendiri. Di sinilah, Coelho mengajak pembaca jujur pada dirinya sendiri.
Sayangnya makna dalam novel ini cukuplah rumit guna dibongkar secara gamblang, sebab unsur-unsur religi acapkali dipakai Coelho guna menyatakan pendapatnya. Jadi apabila anda ingin memahami cerita ini, saya anjurkan anda mencermatinya secara teliti. Karena kalau tidak, anda akan kebingungan sendiri. (Editor: Erwin Santoso)
Comments
Post a Comment